Robert Wolter Monginsidi Pahlawan Yang Setia Hingga Terakhir di Dalam Keyakinan

Saya tak tahu apa-apa tentang Robert Wolter Monginsidi, kecuali sekelumit cerita perjuangannya di buku PSPB saat masih sekolah dulu. Cerita kepahlawanan yang dituliskan dengan datar, tak menginspirasi anak-anak sekolah seperti saya dan teman-teman. sekarang mari kita mengenal lebih jauh Siapa Robert Wolter Monginsidi 

Robert Wolter Monginsidi
(lahir di Malalayang,Manado,Sulawesi Utara, 14 Februari 1925 meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan, 5 September 1949 pada umur 24 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia.
Wolter:Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.”

Masa Kecil Wolter Monginsidi
Mungkin tidak banyak yang mengenal Robert Wolter Monginsidi atau biasa mendapat sebutan dan panggilan kesayangan ‘Bote’. Ia terlahir di pesisir desa Malalayang, Manado Sulawesi Utara pada tanggal 14 Februari tahun 1925. Tepat di hari yang oleh sebagian besar masyarakat di belahan bumi ini menyebutnya sebagai hari kasih sayang atau Valentine’s day. Wolter Monginsidi lahir dari hasil buah cinta Petrus Monginsidi dan Lina Suawa.

Pada masa kecil menjelang masa remajanya, ada begitu banyak pergumulan, halangan serta rintangan yang tak ringan bagi si Wolter kecil. Ia tumbuh dan berkembang pada masa-masa yang sangat sulit, bahkan untuk mendapatkan pendidikan yang layak masih jauh panggang dari api. Tapi luar biasanya, tekad nan bulat dari Wolter kecil tiada pernah urung apalagi pupus. Semangat juangnya untuk menuntut ilmu terus membara serta membakar dan memompa semangatnya untuk maju.

Kegigihannya membuahkan hasil. Pada tahun 1931 ia merebut peluang untuk memasuki dunia pendidikan HIS, yang kemudian diteruskan dengan bersekeloh di MULO Frater Don Bosco Manado. Selepas dari Don Bosco Manado, ia dengan penuh kepastian melangkahkan kakinya menuju ke Sekolah Pertanian yang didirikan Jepang di Tomohon Minahasa, serta Sekolah Guru Bahasa Jepang. Hasilnya? Pada usianya yang masih belia, sekitar 18 tahun pada masanya tersebut, ia sudah menjadi guru Bahasa Jepang di Malalayang Liwutung dan Luwuk Banggai.

Semangat Juang Wolter Muda
Penjajahan di Bumi Pertiwi yang tiada berkesudahan dan semakin menjadi-jadi ternyata mengetuk-ngetuk ruang batin Wolter. Ia betul-betul terpanggil untuk berjuang bagi Ibu Pertiwi. Dengan semangat yang terbangkitkan dan jiwa yang terpanggil Wolter berusaha untuk dapat sekolah lagi. Baginya belajar adalah seumur hidup. Menurutnya ilmu itu penting. Olehkarenanya teruslah ia belajar dan belajar terus. Sampai suatu ketika ia berhasil mencapai Makassar dan masuk SNIP Nasional di tahun 1945.

Lantas apakah Wolter merasa puas berhasil menjajakkan kaki untuk bersekolah di Makassar? Apa daya, panggilan jiwa untuk berjuang demi bangsa terasa begitu kuat. Ia rupa-rupanya menjadi tak tahan lagi menyaksikan dan melihat dengan mata kepala sendiri kekejaman kaum penjajah. Jiwa patriotisme Wolter begitu menggebu-gebu, seakan mengajaknya untuk menyingsingkan lengan dan turun tangan langsung menghadapi para penjajah.

Pada waktu itu, sekitar bulan July 1946 diawali dengan adanya sebuah konferensi terbentuklah sebuah organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS dan Wolter terpilih sebagai sekjennya. Karena Wolter dapat menunjukkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang berani dan cerdas ternyata membuat ia disegani dan sangat dipercaya. Bahkan untuk melakukan aksi-aksi berbahaya melawan Belanda Wolter sering dipercaya untuk bertindak sebagai pemimpin. Sudah banyak perlawanan terhadap para penjajah yang dipimpin oleh Wolter muda ini.
Namun perjuangannya yang sangat gigih akhirnya kandas pada tanggal 28 Februari 1947 ketika ia ditangkap oleh bala tentara Belanda di Sekolah SMP Nasional Makassar. Wolter Monginsidi kemudian dipenjara. Kakinya dirantai, dan dikurung dibalik terali besi.

Sebagai seorang muda yang pantang menyerah dan memiliki semangat juang tinggi, ia tak lantas putus asa dan menyerah begitu saja. Pantang baginya untuk menyerah tanpa bereaksi atau berbuat apa-apa. Ia tetap gigih berjuang walau dari balik terali besi. Hasilnya? Nyata terlihat. Pada suatu malam tepat di tanggal 17 Oktober tahun 1948, bersama dengan Abdullah Hadade, HM Yoseph dan Lewang Daeng Matari, Wolter berhasil melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur. Uniknya lagi sebelum pelarian dilaksanakan, kawan-kawan Wolter dari luar telah menyelundupkan dua buah granat tangan yang dimasukan di dalam roti.

Wolter mengantongi banyak penghargaan dan gelar, bahkan ketika ia sudah mati sekalipun. Antara lain ia dianugerahkan pemerintah Indonesia Bintang Gerilya pada tahun 1958 dan Bintang Maha Putera Kelas III pada tahun 1960, serta ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1973.

Sayang sekali, Wolter hanya bisa menghirup udara kebebasannya selama sepuluh hari. Bahkan impian besarnya untuk terus melawan para penjajah secara langsung mesti kandas untuk kedua kalinya. Pasukan Belanda berhasil menyekap Wolter pada tanggal 28 Oktober 1948. Pasukan Belanda dengan cerdiknya memberikan tawaran uang bagi siapa saja yang sanggup menyerahkan Wolter, atau memberitahukan dimana Wolter bersembunyi. Bukan main busuknya para penghianat tersebut. Hanya dengan uang mereka rela dan tega menghianati perjuangan yang sudah sementara dibangun dengan darah, keringat, dan air mata. Hampir di mana saja pasti akan ada mata-mata Belanda. Makanya jangan heran kalau sampai Wolter pun mengatakan “Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku di sini.”

Saya jadi terbayang, mungkin ketika Wolter digiring untuk dimasukkan ke dalam tahanan di Kiskampement Makassar, ia berjalan dengan langkah tegap tapi dengan kepala yang tertunduk. Sekali-kali ia menoleh kebelakang dengan tatapan sedih, merasa bahwa perjuangannya belum tuntas. Ia pun harus merelakan perjuangan panjangnya diteruskan oleh kawan-kawan seperjuangannya yang lain. Lalu dengan kasarnya tentara Belanda mendorong tubuhnya masuk ke dalam penjara, kemudian tangan dan kakinya dirantai dan dikaitkan di dinding tembok. Wolter lantas divonis hukuman mati pada tanggal 26 Maret 1949 oleh hakim Meester B Damen.

Pada masa penantian hukuman mati yang akan dijatuhkan atasnya, Wolter mengambil waktu untuk merenungi kembali catatan perjalanan kepejuangannya. Ia mungkin akan segera mati, tapi ia sungguh tak ingin keinginan hatinya ikut mati bersamanya. Ia tak sudi motivasi perjuangan ikut mati bersamanya. Robert Wolter Monginsidi menulis banyak rangkaian kata penuh makna untuk saudara-saudaranya, dan juga untuk kawan-kawan muda seperjuangannya sebagai ungkapan ‘keinginan bulatnya’ dan kesetiaannya terhadap ibu pertiwi. Tentu juga terkandung segala harapan-harapan besarnya untuk terus meneruskan perjuangan suci buat bangsanya tercinta. Indonesia.

Raga Boleh Mati, Tapi Perjuangan Jalan Terus
Ada beberapa goresan penanya dalam menyemangati dan memotivasi saudara, kawan, rekan-rekan anak bangsa yang akan segera ia tinggal pergi. Antara lain seperti terbaca di sini:

“Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.”

“Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada dan juga dengan kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah tinggalkan Kasih Tuhan, karena itu akan mengatasi segala-galanya.”

”Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja yaitu roh untuk ‘setia hingga akhir pada tanah air’ dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.”

“Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apapun tidak membelenggu jiwa……”

“Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi…semua air mata, dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.”

Hari Senin tanggal 05 September 1949 sudah ditetapkan sebagai sebagai hari penghukuman mati bagi saudara Wolter Monginsidi. Waktu yang ditetapkan adalah pukul 05.00 subuh. Regu penembak sudah berdiri siap dengan senapan di tangan. Salah satu putera bangsa terbaik bernama Robert Wolter Monginsidi dengan gagah berani berdiri tegak di hadapan regu penembak. Ia sudah sangat rela membiarkan dirinya mati ditembak. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan pernah rela perjuangan dan cita-citanya kandas di ujung moncong senapan itu.

Wolter diberikan kesempatan terakhir untuk menulis surat pada secarik kertas. Ia lantas menuliskan pernyataan keyakinannya kepada Tuhan dan perjuangannya untuk kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sungguh tidak pernah pudar.

Ia menuliskan bahwa ia sudah setia hingga akhir di dalam keyakinan. Ia juga meminta supaya disampaikan salam ke orang tua dan saudara-saudaranya yang berada di Malalayang Manado. Ia menuliskan pesan kepada teman-teman seperjuangannya bahwa ia menjalani hukuman tembak ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi Bangsa Indonesia tercinta.

Catatan Akhir Robert Wolter Monginsidi 
Karena Wolter sudah benar-benar siap, dengan santainya ia menjabat tangan regu tembak yang akan segera menghabisi nyawanya sembari berkata “Laksanakan tugas saudara. Saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa saudara-saudara.“

Akhirnya, ia menatap pasti setiap moncong senjata yang diarahkan tepat ke tubuhnya. Ia bahkan menolak ketika matanya akan ditutup, lalu berucap lantang “Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku.“ Lalu Wolter berteriak “Merdeka….merdeka….merdeka…!” dan depalan butir peluru menghantam tubuhnya. Peluru-peluru itu bersarang di dada, perut dan wajahnya. Meninggallah ia di usia yang masih begitu muda, 24 tahun. Selamat jalan Wolter!

Setia hingga terakhir di dalam keyakinan, sebuah tulisan tangan Wolter terselip di dalam Alkitab yang digenggamnya saat eksekusi mati di subuh hari itu terjadi. Tubuhnya rubuh dan tulisan itu tertinggal di bumi ini, mengingatkan kita semua tentang pentingnya menjaga sebuah keyakinan, sebuah prinsip, yang jauh lebih berharga daripada kehidupan.

Saat bangsa ini mengalami berbagai cobaannya yang tak ringan, itulah sesungguhnya saat pencucian-Nya. Kita bingung, kecewa, marah, sedih, takut, kuatir: perasaan-perasaan itulah yang sedang dibersihkan-Nya. Agar kita semua ingat, sadari dan yakini, tanpa ijin-Nya bangsa ini sudah bubar oleh pemberontakan dari dulu. Tanpa ijin-Nya, kita tak mungkin berada di posisi ini saat ini. 
Negeri ini adalah negeri yang besar, negeri para pahlawan.Negeri yang orang-orangnya berjiwa besar, berfikiran tajam jauh ke depan, negeri yang akan kita bela sepenuh hati sampai nanti Tuhan memanggil kita kembali. 

Saat hari itu tiba, beranikah kita menatap kematian dengan mata terbuka sambil tersenyum? Sejujurnya saya malu pada Wolter Monginsidi…

Tulisan sebagian diambil dari http://mybothsides.blogspot.com/2010_02_01_archive.html